“Sejauh ini belum ada riset yang mengatakan bahwa pemanfaatan Faba itu tidak berbahaya, daya mau tantang siapa yang bisa keluarkan riset tersebut, karena saya bertahun-tahun meneliti soal PLTU belum ditemukan riset soal pemanfaatan Faba,” tegas Yuyun.
Untuk mencegah dampak buruk PLTU itu di Balibunga, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Muhammad Syarif mengatakan kantornya sudah mewajibkan PLN untuk menyiapkan berbagai pencegahan. Di antaranya adalah membuat pagar di area pembongkaran batu bara dan filter di cerobong tempat pembakaran batu bara agar debu PLTU bisa tersaring. Pihaknya juga menawarkan biomassa sampah sebagai substitusi batu bara, agar dapat mengurangi penggunaan batubara.

Selain itu, kata Syarif, kantornya melakukan pemantauan air dan udara secara reguler di Balibunga. Hasilnya kemudian menjadi pembanding dari hasil laporan PLN yang disampaikan ke DLH setiap 6 bulan sekali. Dia mengakui pengujian yang dilakukan DLH dalam satu tahun hanya sekali, karena keterbatasan anggaran. Diketahui, biaya uji kualitas udara dan air sekitar Rp 20 juta per parameter dan untuk satu sampel tanah sebesar Rp 1 juta.
“Namun, ada dukungan pengujian kelayakan udara dari pusat, dengan waktu pengujian selama 14 hari yang dilakukan 2 kali dalam setahun,” kata dia.
Mengacu pada hasil pengukuran oleh DLH pada 10 Juli 2021 bernomor 443.51/48/VIII/LABKESDA/2021, kata Syarif, kualitas udara di sekitar PLTU di Balibunga masih di bawah ambang batas.
“Konsentrasi debu 16 ug/m3, jauh di bawah ambang batas TSP 230 ug/m2, sementara suhu udara 29,8 0C dari batas maksimal 18-30 oC, kelembaban 59,8 persen dari batas maksimum 40 persen-70 persen, pencahayaan tidak ada penentuan ambang batas dan hasilnya 92 Lux. Adapun SO2 (sulfur dioksida) ambang batas 900 ug/Nm3/1jam dan hasil uji 261.9 ug/Nm3; CO (Karbon monoksida) 2116,72 ug/Nm3 dari maksimal diperbolehkan 30,000 ug/Nm3/1 jam, dan; NO2 (Nitrogen Dioksida) maksimal diperbolehkan 400 ug/Nm3/1jam dan hasil uji 147,62 ug/Nm3,” ucapnya.
Gangguan suara, kata Syarif, juga masih di bawah ambang kawasan industri. Menurut Syarif, tingkat kebisingan PLTU 54 dB, dari maksimal yang diperbolehkan di kawasan industri 70 dB.
“Begitu juga dengan kualitas air masih layak untuk dikonsumsi,” kata dia.
Muhammad Syarif menambahkan, kadang kala ada masyarakat yang beranggapan pemerintah bekerja sama dengan pihak PLTU, sehingga tidak peduli terhadap masyarakat. Padahal DLH rutin melakukan pengawasan.