Maluku Utara Kehilangan 258,9 Ribu Hektar Tutupan Pohon: Kepsul, Halsel dan Haltim Penyumbang Terbesar

MALUTTIMES – Provinsi Maluku Utara mengalami kehilangan tutupan pohon seluas 258,9 ribu hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 27,8 ribu hektar hilang akibat kebakaran, sementara sebagian besar lainnya disebabkan oleh alih fungsi lahan untuk pertambangan dan perumahan.

Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Maluku Utara, diwakili Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara, Muhammad Priandi, melalui Torang Pe APBN baru-baru ini menyampaikan, pada tahun 2023 sebanyak 75,51% dari tutupan pohon di wilayah ini masih berupa hutan, namun angka ini terus terancam oleh deforestasi.

Wilayah Kabupaten Hamahera Selatan, Halmahera Timur dan Kabupaten Kepulauan Sula menjadi penyumbang terbesar kehilangan tutupan pohon, mencapai 66% dari total selama periode 2001-2023.

“Deforestasi ini tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal, tetapi juga berkontribusi pada pemanasan global melalui peningkatan emisi gas rumah kaca,” jelasnya.

Jumlah emisi yang dilepaskan selama 2001-2023 tercatat sebesar 9,61 Mt CO2e per tahun, sementara jumlah yang diserap mencapai 12,1 Mt CO2e per tahun. Artinya, tutupan hijau di Maluku Utara menyumbang 2,44 Mt CO2e per tahun sebagai penyerapan karbon dioksida bersih.

Dampak Tambang Terhadap Lingkungan

Aktivitas pertambangan telah menyebabkan perubahan signifikan pada ekosistem lokal. Sungai Sagea di Halteng mengalami perubahan warna air akibat endapan tebal dari pembukaan area hijau oleh tambang.

Selain itu, sejumlah area pesisir di Pulau Halmahera tercemar logam berat, memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh

Penurunan Hutan Primer

Pada tahun 2002, luas hutan primer di Maluku Utara tercatat 2,27 juta hektar.

“Namun, selama periode 2002-2023, area hutan primer ini berkurang sebanyak 7,5%, mengancam keberlanjutan ekosistem di wilayah tersebut,” katanya.

Dengan meningkatnya aktivitas pertambangan, seperti eksplorasi, penggalian, dan pembukaan smelter nikel baru, potensi pelepasan emisi semakin besar karena konversi lahan hutan menjadi area pertambangan.

“Hal ini membutuhkan perhatian serius dan peninjauan lebih lanjut untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan iklim,” tandasnya.(tim/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *