Alokasi Dana Infrastruktur Maluku Utara: Sebuah Kesalahan Fatal atau Pilihan yang Disengaja?

Kebijakan yang ada saat ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merupakan sebuah kegagalan dalam memahami prioritas pembangunan. Ini adalah cermin dari pemerintah yang buta akan data dan berpihak pada kepentingan tertentu, mengabaikan pilar-pilar ekonomi yang sesungguhnya menopang provinsi.

Kontradiksi dalam kebijakan ini semakin terlihat jelas ketika dibandingkan dengan janji-janji yang telah disampaikan. Media lokal mengonfirmasi inkonsistensi ini. Seperti yang dilaporkan Maluku Utara Disway pada 11 September 2025: “Gubernur Sherly Janji Bangun Infrastruktur Jalan Oba Selatan.” Pernyataan ini jelas menegaskan bahwa pembangunan Oba Selatan adalah komitmen yang telah dibuat.

Namun, Malut Post dalam artikelnya yang terbit pada tanggal yang sama, justru menunjukkan prioritas yang berbeda: “Ini Sejumlah Jalan Penghubung Antar Kabupaten yang Jadi Fokus Pemprov Maluku Utara.” Artikel tersebut secara rinci mencantumkan pembangunan jalan penghubung Halbar-Halut serta jalan pintas dari Sofifi ke Halteng dan Haltim, tanpa menyinggung alokasi signifikan untuk Oba Selatan.

Perbedaan antara janji dan realisasi ini adalah bukti yang tidak bisa dibantah. Elit politik yang abai terhadap data adalah elit yang sedang menanam benih-benih perpecahan.

Kebijakan alokasi dana yang tidak proporsional ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bom waktu politik. Dengan terang-terangan mengabaikan data dan fakta lapangan, pemerintah provinsi mengirimkan pesan yang jelas kepada rakyatnya: “Suara dan kontribusi kalian tidak berarti.” Ini adalah erosi kepercayaan yang fatal.

Kita telah menyaksikan bagaimana kebijakan yang dianggap tidak adil memicu gejolak sosial, dari demonstrasi besar hingga tuntutan otonomi yang lebih luas. Kebijakan ini berpotensi memicu ketidakpuasan yang dapat bermuara pada gerakan perlawanan dari masyarakat di daratan Oba dan Halmahera Selatan.

Secara ekonomi, keputusan ini adalah sebuah bunuh diri terencana. Dengan menginvestasikan dana besar di satu wilayah dan mengabaikan sentra produksi lain, pemerintah Maluku Utara menciptakan sistem yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Bagaimana mungkin hasil produksi dari daratan Oba harus melewati infrastruktur yang tidak memadai, sementara uang rakyat digelontorkan untuk proyek di wilayah lain? Ini adalah pemborosan sumber daya yang masif.

Dampak sosial dari kebijakan ini jauh lebih berbahaya

Ketika masyarakat melihat pemerintahnya berlaku tidak adil, solidaritas sosial akan runtuh. Rasa cemburu dan dendam akan tumbuh di antara masyarakat dari wilayah yang berbeda. Ini akan menciptakan jurang pemisah, tidak hanya antara rakyat dan pemerintah, tetapi juga di antara sesama warga Maluku Utara. Kebijakan ini adalah provokasi yang disengaja, menguji batas kesabaran masyarakat yang selama ini hanya bisa bersabar.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *