Oleh: Maulana MPM Djmal Syah
Dosen Hukum Media UNSAN Bacan
Siang ini, saya menerima sebuah tulisan menarik dari teman saya, Novrizal, tentang fenomena post-truth. Dalam tulisannya, Novrizal mengutip pemikiran seorang dramawan asal Serbia-Amerika, Steve Tesich, yang menggambarkan era ini sebagai masa di mana kebenaran lebih ditentukan oleh kedekatan emosional daripada fakta objektif. Tulisan ini bukan hanya penting untuk dibaca, tetapi juga layak menjadi perhatian dalam diskursus publik.
Istilah post-truth sendiri menggambarkan era di mana kebenaran seringkali lebih dipengaruhi oleh emosi dan kepercayaan pribadi, lebih mendewakan orang daripada fakta objektif. Steve Tesich, dramawan Serbia-Amerika, memang telah menyoroti fenomena ini dengan sangat tepat. Dalam era post-truth, kebenaran bukan lagi sesuatu yang didasarkan pada bukti atau fakta yang dapat diverifikasi, tetapi lebih pada seberapa kuat ikatan emosional seseorang dengan informasi atau individu yang menyampaikan informasi tersebut. Ini membuat kebenaran menjadi subjektif dan relatif, tergantung pada siapa yang mendengarnya dan bagaimana mereka merasakannya.
Orang-orang yang berada dalam situasi post-truth sering kali memiliki keterbatasan dalam literasi logika, metodologi, paradigma kritis. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi informasi dan propaganda. Analogi dengan keledai dalam karya Homer dan Aesop mencerminkan pandangan kritis terhadap mereka yang dianggap keras kepala namun kurang pemahaman mendalam tentang kebenaran.
Untuk menghadapi fenomena post-truth ini, penting bagi kita untuk meningkatkan literasi kritis dan kemampuan berpikir analitis dalam masyarakat. Pendidikan yang menekankan pentingnya bukti, metode ilmiah, dan skeptisisme yang sehat dapat menjadi alat untuk melawan penyebaran informasi yang tidak benar dan memperkuat komitmen terhadap kebenaran objektif.
Pentingnya pendidikan yang memadai dalam hal ini tidak bisa diabaikan. Pendidikan yang baik tidak hanya mengajarkan kita tentang fakta dan angka, tetapi juga tentang cara berpikir kritis dan analitis. Dengan keterampilan ini, kita bisa lebih baik dalam menyaring informasi, mengidentifikasi bias, dan memahami konteks yang lebih luas di balik setiap informasi atau klaim.
Dalam era post-truth, kita harus lebih bijaksana dalam menerima dan menyebarkan informasi. Kita harus selalu bertanya, mengapa informasi tersebut disampaikan, siapa yang menyampaikannya, dan apa tujuan di baliknya. Dengan demikian, kita dapat meminimalisir dampak negatif dari era post-truth dan memastikan bahwa kebenaran tetap menjadi fondasi dari diskursus publik kita.
Fenomena post-truth menantang kita untuk lebih kritis dan bijaksana dalam mengelola informasi. Dengan meningkatkan literasi kritis, mengedepankan pendidikan yang baik, dan mengandalkan media yang bertanggung jawab, kita dapat menjaga komitmen terhadap kebenaran objektif. Diskursus publik yang sehat dan berdasarkan fakta adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan berdaya tahan terhadap manipulasi informasi.(*)