Namun dalam kenyataannya, idealisme itu sering kali tumpul ketika berhadapan dengan realitas politik praktis. Ketika posisi strategis dalam organisasi seperti KNPI dijadikan batu loncatan menuju jabatan politik, maka orientasi gerakan bergeser dari collective action menjadi personal ambition.
Musda dan Bayang-bayang Politisasi
Fenomena menjamurnya figur calon ketua dalam Musda KNPI Halmahera Barat dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, ini menandakan tumbuhnya minat dan partisipasi pemuda terhadap organisasi. Namun di sisi lain, hal ini juga mencerminkan adanya tarikan kepentingan dari luar yang menjadikan KNPI sebagai instrumen politik. Dalam situasi demikian, idealisme pemuda sering kali terkalahkan oleh pragmatisme politik.
Antonio Gramsci (1971) dalam Prison Notebooks yang menjelaskan konsep hegemoni, di mana kelas penguasa mempertahankan dominasinya melalui pembentukan kesadaran palsu di kalangan masyarakat. Dalam konteks KNPI, hegemonisasi ini terjadi ketika elite politik memanfaatkan jaringan pemuda untuk memperkuat pengaruh dan legitimasi sosialnya. Akibatnya, organisasi kepemudaan kehilangan fungsi kritisnya dan berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
Padahal, Musda seharusnya menjadi ruang dialektika ide dan refleksi nilai, bukan sekadar ajang perebutan kursi kepemimpinan. Seperti yang diingatkan oleh Soekarno (1933), “Pemuda harus menjadi pelopor yang berpikir tentang nasib bangsanya, bukan pelengkap penderita politik kekuasaan.” Pernyataan ini menjadi relevan ketika melihat bagaimana sebagian pemuda kini lebih sibuk membangun citra ketimbang membangun gagasan.
Realitas Sosial Halmahera Barat dan Tantangan di Tengah Ketimpangan
Pada sektor pendidikan, misalnya, masih banyak desa yang menghadapi keterbatasan sarana dan tenaga pengajar. Hal ini sesuai dengan temuan-temuan sosial bahwa kualitas sumber daya manusia di daerah tertinggal sangat dipengaruhi oleh ketimpangan akses pendidikan. Ketika pendidikan terbatas, maka kapasitas kritis pemuda juga menurun, Freire mengingatkan bahwa pendidikan dan organisasi kepemudaan harus membebaskan manusia dari belenggu ketidaksadaran struktural—bukan memperpanjang mata rantai dominasi
Dari sisi kesehatan, banyak masyarakat di wilayah pesisir dan pegunungan yang masih bergantung pada fasilitas kesehatan dasar yang minim. Pemuda seharusnya hadir sebagai penggerak advokasi kesehatan publik, bukan sekadar penonton kebijakan.















