Penulis: Nusri Umalekhoa, S.H
(Alumni HMI/Mantan Bendahara Umum HMI Cabang Ternate Periode 2010/2011)
Di sudut-sudut sekolah dan perkantoran, mereka bekerja dalam kesunyian. Bertahun-tahun para tenaga honorer di Kepulauan Sula mengabdi dengan satu harapan. Kelak pengabdian itu akan berbuah pengakuan dan kejelasan status melalui seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk masa depan. Harapan itu sempat menyala terang ketika Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan hasil kelulusan. Senyum mereka tampak mekar, doa mereka seakan terjawab, akhirnya jerih payah yang nyaris tanpa henti berbuah hasil.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Satu keputusan dari Bupati Kepulauan Sula, Fifian Adeningsi Mus, meruntuhkan semua harapan itu. Dengan alasan yang hingga kini belum benar-benar terbuka. Fifian Adeningsi Mus membatalkan hasil pengumuman resmi BKN. Mereka yang telah sah dinyatakan lulus, kini kembali terjebak dalam ketidakpastian. Seakan-akan, secarik kertas keputusan mampu menghapus puluhan tahun pengabdian.
Lebih ironis lagi, dari sekian banyak yang lulus, 42 orang dibatalkan oleh Bupati, dan hanya 15 orang yang kemudian diakomodir. Sisanya? Seolah-olah pengabdian mereka tak pernah ada. Apakah mudah bagi seorang pemimpin untuk menutup mata terhadap keringat yang jatuh, terhadap kesetiaan yang ditunjukkan, terhadap mimpi-mimpi yang kini terkoyak? Di manakah nurani seorang pemimpin daerah yang seharusnya hadir memberi keadilan, bukan malah merampasnya?.
Yang lebih menyakitkan, suara DPRD sebagai wakil rakyat yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi mereka hampir tak terdengar. Hanya segelintir anggota DPRD saja yang berani bersuara, sementara mayoritas lebih memilih diam. 25 kursi DPRD yang semestinya berdiri tegak membela rakyat, kini tampak kosong makna. Apakah amanah yang mereka sandang hanya sekadar simbol tanpa jiwa?.
Kebijakan Bupati ini tidak boleh dibiarkan. Tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang terhadap keputusan lembaga negara sebesar BKN, apalagi jika menyangkut hidup dan masa depan masyarakat. Sebuah keputusan politik yang mencederai hak rakyat adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna kepemimpinan itu sendiri.
Kini, pertanyaan terbesar menggantung di udara: ke mana arah kepemimpinan Sula? Apakah ia hadir untuk melindungi atau justru melukai? Apakah kekuasaan hanya akan digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan mereka yang lemah, atau sebagai jalan menegakkan keadilan?.
Kami mendesak, Bupati dan DPRD harus segera membuka ruang dialog dengan tenaga honorer PPPK yang dirugikan, serta menjalin komunikasi resmi dengan pemerintah pusat. Jangan biarkan luka ini melebar, jangan biarkan rakyat terus dipermainkan oleh keputusan sepihak yang menindas.
Karena sesungguhnya, ukuran kepemimpinan bukanlah seberapa besar kuasa digenggam, melainkan seberapa dalam rakyat merasakan keadilan dari setiap kebijakan yang lahir. Dan di titik inilah, sejarah akan menilai, apakah seorang pemimpin layak dikenang karena keadilannya, atau dicatat karena kezaliman yang pernah ia lakukan.***